Powered by Blogger.
Showing posts with label Hari HAM Sedunia. Show all posts
Showing posts with label Hari HAM Sedunia. Show all posts

Kesahajaan Hak Asasi Manusia




Ada banyak orang yang menganggap persoalan Hak Asasi Manusia adalah persoalan yang berat, serius, dan sensitif. Ini sebenarnya hanya soal persepsi dan motivasi.
Bagi yang selalu merasa “asing” pada hal yang bukan dari diri atau lingkungannya, tentu akan selalu sulit merefleksikannya, apalagi menjadikannya sebagai bagian dari dirinya. Sebaliknya, untuk yang selalu siap sedia membuka pemahaman, justru HAM adalah sesuatu yang sangat familiar.
Jika kamu masih sulit memahami HAM yang hadir dalam bentuk pengetahuan, cobalah merasakannya dengan hati. Perhatikan dan resapi mereka yang tengah memperjuangkan HAM. Tempatkan dirimu dalam diri para keluarga korban pelanggaran HAM. Untuk bisa put in their shoes, kamu harus memaksa dirimu keluar atau sekaligus menghancurkan sekat perbedaan.
Di ruangan itu, hanya kamu dan dia. Tidak ada embel-embel. Kamu, dia, sama-sama manusia.
Lalu, tiba-tiba saja kamu mengerti apa itu HAM.
Saat kamu merasa nyeri dan tak tahan lagi menggenggam sebuah es batu, kamu mendadak merasakan (sedikit) yang dirasakan para korban penculikan aktivis 1998 yang harus tidur diatas balok es. Saat kamu merasakan mual, muntah, dan diare atau pernah merasakan keracunan makanan, tiba-tiba kamu terbayang almarhum Munir, yang merangkak diantara kursi penumpang Garuda GA 974 karena racun arsenik yang kabarnya sanggup membunuh seekor gajah.
Kamu pun langsung mengerti dan setuju mengapa harga barang yang dijual di malam hari lebih mahal ketimbang dijual siang hari: karena harus membayar upah pekerja yang lembur. Setiba di rumah, kamu langsung membuat peraturan baru pada pembantu rumah tangga: batasi waktu kerja, meliburkannya pada hari non kerja dan memberi upah lembur.
Kesukarelaan membangun peradaban yang menjunjung tinggi kemanusiaan dapat dimulai dari hal-hal yang sederhana. Jika kamu tidak senang diperlakukan dengan cara tertentu, maka hindarilah dan jauhkanlah untuk menirunya.
Ketika kamu kecewa karena tak sempat beribadah oleh karena terhalang kesibukan, coba bayangkan kesedihan orang-orang yang tengah dihalang-halangi untuk melakukan ibadah. Saat kamu sebal karena orang merendahkan keimananmu, coba bayangkan mereka yang divonis sesat.
Kesediaan untuk bercermin pada masalah orang lain inilah yang akan membantu kamu menjadi rendah hati. Kerendahan hati ini tidak akan membuatmu menjadi “bukan siapa-siapa”, justru sebaliknya membesarkanmu menjadi “seseorang”. Kamu bisa melihat masalah yang orang lain tak sadari. Kamu dapat menemukan jalan keluar yang terang ditengah kegelapan hati. Kamu sanggup mencium busuknya rencana kotor yang belum terjadi.
Saat itu terjadi pada dirimu, kamu tidak bingung membedakan mana yang harus dipindah-paksa, mana yang harus diusir dan mana yang harus dilestarikan. Kamu berhenti berdebat soal kenaikan BBM dan segera menyusun rencana yang lebih jauh untuk beralih untuk meninggalkan energi fosil yang beracun.
Kemanusiaan membuat kamu utuh sebagai manusia. Kamu bukan sekarung hasrat dan nafsu belaka. Kamu adalah sungai cinta, lautan kasih, dan cahaya peduli.
Tapi ingat, seperti John teman saya bilang. HAM tidak gratis seperti oksigen. Sejarah HAM adalah sejarah perjuangan. HAM bukan hanya ada atau berhenti sampai di undang-undang, aturan dan susila. Dari Muhammad sampai dengan Gandhi, Bunda Teresa, Mandela, Munir dan Anis Hidayah (Penerima Yap Thiam Hien 2014). HAM hanya ada jika kita memperjuangkannya, meributkannya dan mengamalkannya.
Cuma kamu yang bisa buat HAM itu ada dan eksis.      
Selamat Hari HAM, Kawan!


Wanda Hamidah
Seorang politisi dan aktivis sosial.

Tahukah Kamu Isi 30 Butir Deklarasi HAM PBB?

Sebuah kabar yang kurang baik bagi kita semua bahwa Indonesia dilaporkan mengalamin kemunduran dalam bidangg kebebasan sosial dan Hak Asasi Manusia. Menurut Freedom House, Indonesia turun dari peringkat 3 ke peringkat 4. Status Indonesia pun turun dari Bebas ke Agak Bebas dengan penerapan hukum yang membatasi dan meningkatkan birokrasi pengawasan LSM. Selain itu, marak juga terjadi berbagai konflik mengatasnamakan agama, konflik agraria, dan belum tuntasnya kasus HAM di masa lalu.
Pada 10 Desember 1948, Deklarasi Hak Asasi Manusia dicetuskan untuk memperbaiki masalah HAM dan mewujudkan perdamaian dunia. Di Indonesia sendiri, HAM adalah isu yang terus-menerus terdengar, tetapi apakah kita sebagai masyarakat sudah mengetahui apa saja hak asasi manusia yang harus dihormati dan diwujudkan? Jangan sampai kita menjadi pelanggar HAM itu sendiri.
Simak di infografi ini:

Penyelesaian Konflik Agraria: Jalan Rekonsiliasi HAM


Hari ini kita patut berbahagia, sebab Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari Hak Asasi Manusia di Yogyakarta, 9 Desember 2014 kemarin menyatakan komitmennya terhadap Hak Asasi Manusia. Komitmen itu hendak dijalankan dengan dua jalan yaitu  jalan rekonsiliasi secara menyeluruh dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Menurut Presiden, pelanggaran HAM bukan hanya pelanggaran HAM masa lalu, melainkan juga ada soal jaminan pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya serta jaminan mendapat pelayanan pendidikan, kesehatan serta kebebasan beragama.  Sebagai bentuk nyata komitmen tersebut, Presiden memberikan grasi kepada aktivis HAM dan agraria Eva Bande.

Eva Bande, Konflik Agraria, dan Hak ECOSOC

Eva Susanti Hanafi Bande adalah aktivis yang mendampingi petani  Desa Piondo, Singkoyo, Moilong, Tou, Sindang Sari, Bukit Jaya, dan beberapa desa lain dalam kasus perampasan lahan (land grabbing)  oleh PT KLS (Kurnia Luwuk Sejati) yang memiliki konsesi Hutan Tanaman Industri dengan luas sekitar 13.000 ha, di mana konsesi HTI tersebut diubah menjadi perkebunan sawit.
Sejatinya, kasus Eva Bande mewakili bentuk konflik agraria yang berkembang akhir-akhir ini dengan modus land grabbing, di mana perubahan peruntukan konsesi konsesi HTI diubah menjadi perkebunan sawit. Jenis konflik semacam ini belakangan terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Laporan KPA (2013), konflik agraria selama 5 tahun (2009-2013) naik sebanyak 314% atau 3 kali lipat, dengan luas areal konflik hingga 2013 naik hingga 871%. Jumlah keluarga yang terlibat konflik juga naik menjadi 1.744%. (KPA, 2013: 5). Konflik ini naik 33,03% dari tahun 2012 lalu. Khusus tahun 2013, luas konflik mencapai  1.281.660,09 ha, jumlah korban 139.874 KK. Konflik didominasi konflik perkebunan mencapai 527.939,27 ha, konflik kehutanan mencapai 545.258 ha.
Kriminalisasi aktivis, seperti yang terjadi pada kasus Eva Bande adalah pola lama dalam penanganan konflik agraria yang dilakukan secara konspiratif oleh perusahaan dan aparat keamanan. Setidaknya pola ini belum berubah ketika saya dulu mengadvokasi konflik-konflik agraria di Jawa Tengah dan Jawa Timur di tahun 1990an awal. Rupanya pola ini adalah terus berlangsung hingga kini, seperti panduan dalam textbook yang diajarkan terus-menerus oleh institusi keamanan.
Sesungguhnya Eva Bande dan saya yakin ribuan orang aktivis lainnya, termasuk alm. Munir memperjuangkan apa yang disebut hak ekosos (ekonomi dan sosial). Benarlah apa yang disampaikan Presiden bahwa pelanggaran HAM bukanlah cerita masa lalu saja, melainkan tantangan masa depan terhadap jaminan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.  Tentu saja, mengingat ekspansi moda produksi berbasis sumber daya alam semakin meningkat ekspansi, dengan aktor modal bukan saja dalam pemodal dalam negeri, melainkan juga modal asing. Dua UU terakhir yang berkaitan dengan ekspansi ini adalah UU Holtikultura dan UU Perkebunan yang baru, di mana keduanya membuka pintu bagi modal asing untuk melakukan usaha ekstraktif.

Penyelesaian Konflik Agraria adalah Jalan Bagi Rekonsiliasi Kasus HAM Masa Lalu

Tak kalah penting, komitmen HAM Presiden adalah penyelesaian pelanggaran HAM melalui jalan rekonsiliasi. Jika dikaji secara serius, sebagian besar konflik agraria berakar pada peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Hampir semua konflik agraria di perkebunan negara berakar dari peristiwa darurat 1954 dan nasionalisasi 1958 yang menyingkirkan petani dan masyarakat adat dari penguasaan lahan eks kolonial ke tangan militer. Sementara konflik agraria lainnya adalah penggunaan discourse peristiwa 1965 digunakan untuk menyingkirkan petani  dari lahan pertanian mereka bagi kepentingan perkebunan. Konflik agraria yang tidak terkait pelanggaran HAM masa lalu adalah tipe yang belakangan terjadi yaitu restorasi hutan, ekspansi sawit ke kawasan hutan, dan pembukaan hutan untuk food estate. Selebihnya, konflik agraria bersambung tali sejarah dengan pelanggaran HAM masa lalu.
Maka tidak ada jalan lain bagi Presiden Joko Widodo untuk merealisasikan jalan rekonsiliasi itu jika tanpa penyelesaian atas konflik-konflik agraria. Presiden memiliki berbagai senjata untuk rekonsiliasi, di antaranya adalah pelaksanaan PP No 11 Tahun 2010 tentang Penertiban Tanah Terlantar dan membuka kembali berkas rancangan PP Reforma Agraria yang dimentahkan pada masa SBY, serta mengembangkan mediasi penyelesaian konflik. Jika hal ini dilakukan, Presiden telah mengayuh dayung di mana tiga pulau terlampaui yaitu rekonsiliasi, penyelesaian konflik, dan pemenuhan jaminan hak-hak ekonomi, sosial, budaya bahkan pengakuan kesejarahan hubungan para petani dan masyarakat adat terhadap sumber daya dan ruang hidup mereka.
Dengan demikian, bukan hanya Eva Bande yang hari ini berbahagia, melainkan jutaan warga negara, petani, masyarakat adat, perempuan yang selama ini disingkirkan... mereka semua akan berbahagia karena presiden yang mereka pilih menepati janji kampanyenya.

Budiman Sudjatmiko
Penulis adalah anggota Komisi 2 DPR RI, Pimpinan Pansus RUU Desa dan RUU Pemda dan Penulis Buku “Anak-anak Revolusi”.