Powered by Blogger.

Penyelesaian Konflik Agraria: Jalan Rekonsiliasi HAM


Hari ini kita patut berbahagia, sebab Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari Hak Asasi Manusia di Yogyakarta, 9 Desember 2014 kemarin menyatakan komitmennya terhadap Hak Asasi Manusia. Komitmen itu hendak dijalankan dengan dua jalan yaitu  jalan rekonsiliasi secara menyeluruh dan Pengadilan HAM Ad Hoc. Menurut Presiden, pelanggaran HAM bukan hanya pelanggaran HAM masa lalu, melainkan juga ada soal jaminan pemenuhan hak ekonomi, sosial, budaya serta jaminan mendapat pelayanan pendidikan, kesehatan serta kebebasan beragama.  Sebagai bentuk nyata komitmen tersebut, Presiden memberikan grasi kepada aktivis HAM dan agraria Eva Bande.

Eva Bande, Konflik Agraria, dan Hak ECOSOC

Eva Susanti Hanafi Bande adalah aktivis yang mendampingi petani  Desa Piondo, Singkoyo, Moilong, Tou, Sindang Sari, Bukit Jaya, dan beberapa desa lain dalam kasus perampasan lahan (land grabbing)  oleh PT KLS (Kurnia Luwuk Sejati) yang memiliki konsesi Hutan Tanaman Industri dengan luas sekitar 13.000 ha, di mana konsesi HTI tersebut diubah menjadi perkebunan sawit.
Sejatinya, kasus Eva Bande mewakili bentuk konflik agraria yang berkembang akhir-akhir ini dengan modus land grabbing, di mana perubahan peruntukan konsesi konsesi HTI diubah menjadi perkebunan sawit. Jenis konflik semacam ini belakangan terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Laporan KPA (2013), konflik agraria selama 5 tahun (2009-2013) naik sebanyak 314% atau 3 kali lipat, dengan luas areal konflik hingga 2013 naik hingga 871%. Jumlah keluarga yang terlibat konflik juga naik menjadi 1.744%. (KPA, 2013: 5). Konflik ini naik 33,03% dari tahun 2012 lalu. Khusus tahun 2013, luas konflik mencapai  1.281.660,09 ha, jumlah korban 139.874 KK. Konflik didominasi konflik perkebunan mencapai 527.939,27 ha, konflik kehutanan mencapai 545.258 ha.
Kriminalisasi aktivis, seperti yang terjadi pada kasus Eva Bande adalah pola lama dalam penanganan konflik agraria yang dilakukan secara konspiratif oleh perusahaan dan aparat keamanan. Setidaknya pola ini belum berubah ketika saya dulu mengadvokasi konflik-konflik agraria di Jawa Tengah dan Jawa Timur di tahun 1990an awal. Rupanya pola ini adalah terus berlangsung hingga kini, seperti panduan dalam textbook yang diajarkan terus-menerus oleh institusi keamanan.
Sesungguhnya Eva Bande dan saya yakin ribuan orang aktivis lainnya, termasuk alm. Munir memperjuangkan apa yang disebut hak ekosos (ekonomi dan sosial). Benarlah apa yang disampaikan Presiden bahwa pelanggaran HAM bukanlah cerita masa lalu saja, melainkan tantangan masa depan terhadap jaminan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.  Tentu saja, mengingat ekspansi moda produksi berbasis sumber daya alam semakin meningkat ekspansi, dengan aktor modal bukan saja dalam pemodal dalam negeri, melainkan juga modal asing. Dua UU terakhir yang berkaitan dengan ekspansi ini adalah UU Holtikultura dan UU Perkebunan yang baru, di mana keduanya membuka pintu bagi modal asing untuk melakukan usaha ekstraktif.

Penyelesaian Konflik Agraria adalah Jalan Bagi Rekonsiliasi Kasus HAM Masa Lalu

Tak kalah penting, komitmen HAM Presiden adalah penyelesaian pelanggaran HAM melalui jalan rekonsiliasi. Jika dikaji secara serius, sebagian besar konflik agraria berakar pada peristiwa pelanggaran HAM masa lalu. Hampir semua konflik agraria di perkebunan negara berakar dari peristiwa darurat 1954 dan nasionalisasi 1958 yang menyingkirkan petani dan masyarakat adat dari penguasaan lahan eks kolonial ke tangan militer. Sementara konflik agraria lainnya adalah penggunaan discourse peristiwa 1965 digunakan untuk menyingkirkan petani  dari lahan pertanian mereka bagi kepentingan perkebunan. Konflik agraria yang tidak terkait pelanggaran HAM masa lalu adalah tipe yang belakangan terjadi yaitu restorasi hutan, ekspansi sawit ke kawasan hutan, dan pembukaan hutan untuk food estate. Selebihnya, konflik agraria bersambung tali sejarah dengan pelanggaran HAM masa lalu.
Maka tidak ada jalan lain bagi Presiden Joko Widodo untuk merealisasikan jalan rekonsiliasi itu jika tanpa penyelesaian atas konflik-konflik agraria. Presiden memiliki berbagai senjata untuk rekonsiliasi, di antaranya adalah pelaksanaan PP No 11 Tahun 2010 tentang Penertiban Tanah Terlantar dan membuka kembali berkas rancangan PP Reforma Agraria yang dimentahkan pada masa SBY, serta mengembangkan mediasi penyelesaian konflik. Jika hal ini dilakukan, Presiden telah mengayuh dayung di mana tiga pulau terlampaui yaitu rekonsiliasi, penyelesaian konflik, dan pemenuhan jaminan hak-hak ekonomi, sosial, budaya bahkan pengakuan kesejarahan hubungan para petani dan masyarakat adat terhadap sumber daya dan ruang hidup mereka.
Dengan demikian, bukan hanya Eva Bande yang hari ini berbahagia, melainkan jutaan warga negara, petani, masyarakat adat, perempuan yang selama ini disingkirkan... mereka semua akan berbahagia karena presiden yang mereka pilih menepati janji kampanyenya.

Budiman Sudjatmiko
Penulis adalah anggota Komisi 2 DPR RI, Pimpinan Pansus RUU Desa dan RUU Pemda dan Penulis Buku “Anak-anak Revolusi”.

1 comments:

  1. Kita memang harus berhenti untuk mencela petani dan mengabaikan petani. Negara memang penting dan datang untuk menyelamatkan sedikit ruang tanah yang terlanjur hilang karena persekutuan kekuasaan dan bisnis...menyelamatkan tanah untuk petani juga berarti mencegah mata rantai hilangnya generasi dari anak-anbak petaniu yang jumlahnya tak terkira itu.

    ReplyDelete